Review Buku: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

 “Dua kali sa lolos dari maut. Tapi leluhur terus kasi sa pung air mata jatuh. Sampai kapan sa dan perempuan lain di sa pung tanah ini akan terus menangis?”



Judul: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Penulis: Dian Purnomo

Penerbit: GPU

Jml hal:  320 halaman

Hal pertama yang kupikirkan setelah membaca habis buku ini adalah “astaga ternyata di negeri sendiri ada kasus ketimpangan gender yang nggak kalah menyedihkan dibanding yang terjadi pada Kim Ji-Yeong”. Hmm kalau dipikir lagi aku yakin sebenarnya malah banyak banget sih kasus-kasus seperti ini, jadi aku sangat mengapresiasi Mbak Dian Purnomo yang menyuarakan salah satunya melalui buku ini. Buku ini menceritakan tentang tradisi/adat Yappa Mawine di Sumba. Jadi yappa mawine ini dapat diartikan sebagai kawin tangkap dimana biasanya dalam pelaksanaannya kedua pihak keluarga telah melakukan perjanjian mengenai belis (sejenis seserahan berupa ternak) yang akan diberikan. Namun, jika tidak kunjung ada kesepakatan, pihak pria dapat “menculik” perempuan tersebut terlebih dahulu untuk kemudian melanjutkan negosiasi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan catatan keluarga laki-laki tetap memberi tau pihak perempuan. Nah tradisi inilah yang kemudian disalahgunakan oleh Leba Ali untuk berusaha menikahi Magi Diela yang sama sekali tidak mencintai bahkan nyaris tidak mengenalnya. Magi Diela diculik saat Wulla Poddu (ritual adat Marapu dimana dalam satu bulan penuh tidak boleh dilakukan perkawinan) yang dikenal juga dengan “Bulan Hitam”. Bulan hitam merupakan saat marak dilakukannya kawin tangkap.


Sepanjang  buku bawaannya sedih, marah, ngeri, kecewa, hah nano-nano deh menemani perjalanannya Magi. Mulai dari dia diculik, diperlakukan dengan semena-mena, berusaha melawan, tidak berdaya, dan sebagainya. Sampe yang mikir “eh dia punya hati nggak sih sebenernya ”. Intinya, si Magi ini dipaksa menikah dengan Leba Ali sebagaimana yang harus dilakukan menurut adat  yappa mawine di sana. Namun, Magi tidak tinggal diam dan tetap memperjuangkan kebebasannya hingga dia bertemu dengan Gema Perempuan yang mau membantu. Ia juga dibantu oleh sahabatnya yaitu Dangu Toda dan Tara. Oiyaa, yang juga menyedihkan adalah kisah Magi sama Dangu Toda yang hmmm (spoiler jatuhnya ini, baca sendiri ya!). Daan aku kecewaa pake banget sama bapaknya si Magi ini hih (panggil saja Ama Bobo), tapi nggak bisa nyalahin juga ya soalnya anggap aja kaum yang masih berpegang teguh pake banget sama adat dan tradisi setempat.


Buku ini pokoknya akan mengajakmu mengenal lebih dekat Sumba, mulai dari tradisi kawin tangkap, bagaimana proses pernikahan di sana, pakaian, rumah dan bagian-bagiannya yang khusus (ada bagian rumah yang boleh dilewati atau pamali unt perempuan/laki-laki , dll), dlarangnya pernikahan antarkabisu, penyebutan istilah “Tamo” untuk memanggil orang yg memiliki nama yang sama dengan kita, tradisi buku usus ayam untuk melihat nasib, hingga bahasa. Heheh awal-awal buku ini jujur butuh waktu untuk mengerti bahasa yang digunakan sih, padahal dicampurnya cuma beberapa kata kek “sa”, “pung”, dll tapi tetep mikir. Tidak lupa kritik sosialnya yang bertebaran mengenai sistem kawin tangkap yang mengambil perempuan secara paksa seolah barang yang bisa dibawa tanpa ditanya keinginannya, upacara di sana yang menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta, keresahan generasi muda di sana yang terbuka terhadap globalisasi namun diharuskan tetap menjaga adat, dan yang paling ngena sih pendewaan terhadap adat yang mengalahan logika dan kemanusiaan . Sebagaimana yang kulihat diawal buku, “bahwa ada budaya yang memang baik untuk dipertahankan, tetapi ada banyak sekali budaya di Indonesia yang bahkan harus dihapuskan karena merugikan pihak-pihak tertentu” -hlm 20. Dalam kasus yang agak berbeda, pembahasan budaya juga ada di buku peRempuan tulisan Maman Suherman, mempertanyakan apakah budaya siri’ di masyarakat Bugis-Makassar, carok di Madura, atau kayau di masyarakat Dayak-Kalimantan sebenarnya sarat muatan balas dendam. Pada akhirnya pertanyaan di bukunya Mamah Suherman pas banget sih: “Sekaku itukah cara memahami budaya suatu suku bangsa? Apakah tidak bisa didekonstruksi dan rekonstruksi pemahamannya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan?” Eh tapi tenang, setelah kusearching ternyata pemerintah daerahnya udah melarang kok, tapi ya nggak tau juga praktiknya gimana. Hal yang juga menarik perhatianku adalah Magi yang sempat membicarakan status agama di KTP-nya yang diisi dengan agama Kristen padahal ia menganut ajaran Merapu. Entah kenapa jadi keinget Ichon (Alfa Sagala) di Supernova: Gelombang yang menyinggung hal ini juga (lucunya ya sebelum baca itu aku kurang ngeh ada kepercayaan lain selain 6 agama yg diakui wkwk). Dan satu lagi nih yang unik, tradisi masyarakat Sumba memperlakukan hutan dan aturannya yang pastinya berperan terhadap pelestarian lingkungan, auto keinget Tenganan Pegringsingan dan esai yang pernah kutulis tentang itu. Ternyata bener, setiap daerah pastinya punya budaya yg menjaga kelestarian alam gitu nggak sih? Hehe.. Hmm panjang beut yak,, ya pokoknya wajib baca si ini guys hehe


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama