Aku merindukan lengkung bibirmu. Terlebih saat semburat jingga mengantarkan Baskara kembali ke peraduannya setelah letih berkeliling seharian. Kau biasanya akan tertawa, dan mulai menikmati tiap jengkal sisa cahaya yang masih rela dibagi mentari. Sungguh pemandangan yang sempurna. Ditambah lagi rambut sebahumu yang tak pernah berkeberatan selalu kau ikat dengan asal. Tentunya sebuah sasaran empuk bagi angin jahil yang bosan menunggu malam datang. Perlahan hal itu menjadi pemandangan favoritku. Gadisku dan senja.
Aku merindukan lengkung bibirmu. Terlebih saat hujan datang. Kau seorang pluviophile, pencinta petricor dan kenangan-kenangan lainnya yang pernah kau titipkan pada hujan. Saat inilah kau biasanya mengenang. Menikmati setiap hembus dingin yang merambat perlahan, mengingatkan sepi, dan terkadang sejumput kesedihan. Meski hujan terkadang berakhir dengan mata yang sembab, aku tau terakhir kau akan kembali memamerkan indah lengkung bibirmu. Perlahan hal itu menjadi pemandangan favoritku. Gadisku dan hujan.
Aku merindukan lengkung bibirmu. Terlebih saat setiap detik kau selalu saja datang tanpa permisi dan pergi tanpa pamit. Membawaku ke dalam kenangan, tempatku enggan berpaling, namun tak punya alasan untuk tinggal lebih lama. Tak apa, kali ini biarkan aku mulai terbiasa. Perlahan hal itu menjadi favoritku. Gadisku dan ketiadaannya.