Jika buku yang kubaca harus diibaratkan dengan makanan, Anxious
People karya Fredrik Backman akan kuibaratkan dengan gado-gado. Alasannya
tidak lain adalah buku ini memuat banyak sekali topik menarik nan krusial
-bahkan dari berbagai bidang yang jauh berbeda- diramu dengan baik dan porsi
yang pas sehingga menghasilkan pengalaman membaca yang luar biasa. Buku ini
menjanjikan kehangatan, kurang lebih sebelas duabelas dengan balutan selembar
selimut tebal dan secangkir cokelat panas saat hari sedang hujan, atau sebuah
pelukan dari sahabat saat kita sedang bersedih, alias hangaaaatt sekali.
Sepanjang cerita
kita akan diajak menikmati humor-humor khas Backman, yang menggelitik dan
terkadang getir, unsur-unsur cerita yang tidak pernah absen dari karya-karya
sebelumnya seperti kesedihan akibat kehilangan orang terkasih, mempertanyakan
moralitas, isu-isu yang sangat dekat sehingga pembaca mudah merasa terwakili
oleh kalimat-kalimatnya, dan masih banyak lagi. Dengan komposisi yang spesial
tersebut, tidak mengherankan jika buku ini mendapat tempat yang spesial pula
buatku, dan aku yakin buku ini akan menduduki tempat itu untuk waktu yang lama.
Singkatnya, buku ini masuk ke dalam jajaran my all time favourite books.
Jika mukadimah tadi belum cukup membuatmu tertarik untuk membaca buku ini, mari
membahas beberapa topik menarik di buku ini yang membuatku merenung, baik
merenungi topiknya maupun merenungi kepiawaian Backman meramu cerita sehingga ceritanya
terjalin sempurna dengan berbagai topik tanpa merusak cerita utamanya. Buku ini
menjanjikan topik-topik yang dalam, bahkan isu sensitif yang terbilang tabu. Sebelum
masuk ke pembahasan tersebut, izinkan aku memberikan sedikit gambaran mengenai
buku ini.
Buku ini
menceritakan tentang pencurian sebuah bank yang dilakukan pada malam tahun baru
(fyi, yang dicuri malah cashless bank masa wkwkwk). Karena polisi
datang, si pencuri yang membawa senjata api ini melarikan diri ke sebuah
apartemen yang ternyata sedang menyelenggarakan open house bagi calon
pembeli. Alhasil para calon pembeli tersebut menjadi korban penyekapan alias
disandera. Di sinilah drama dimulai, mulai dari drama polisi yang menangani
masalah ini, drama para calon pembeli yang tidak saling mengenal dan ketakutan
terhadap si pencuri yang menyekap mereka, drama si pencuri yang juga ketakutan.
Mari kita sambut… Anxious People.. (prok prok prok).
Seperti
judulnya, Backman mengekspos kecemasan-kecemasan yang dialami oleh seluruh
tokoh dalam buku ini tanpa terkecuali, mulai dari si pasangan ayah-anak polisi,
kecemasan si pencuri, para sandera -Sarah yang egois namun terjebak di masa
lalu, pasangan yang menyambut kelahiran anak pertama mereka namun cemas tidak
dapat menjadi orang tua yang baik, sepasang pensiunan yang sedang mengalami
keretakan hubungan, agen apartemen, semuanya deh pokoknya. Sepanjang buku,
cerita berjalan dengan berbagai ke-absurd-an tokohnya, namun bermakna.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam buku, “buku ini menceritakan tentang para
idiot, namun bukankah kita semua demikian? Ada saat-saat kita benar-benar tidak
tau harus berbuat apa hingga bertingkah seperti idiot dan itu hal yang wajar”.
Buku ini menuturkan kekhawatiran-kekhawatiran kita, akan tanggung jawab sebagai orang tua,
mendewasa, dalam menjaga kesehatan mental, dalam semua aspek kehidupan.
Mari lanjut ke bahan overthinking. Here we go!
1.
Kritik
sosial dan moralitas
Ada
satu paragraf sebagai berikut:
“Well, you mustn’t kill people, anyway. And most of the time you mustn’t
even kill swans, even if they are bastards, but you’re allowed to
kill animals if they’ve got horns and are standing in the forest.
Or if they’re bacon. But you must never kill people.” – pg 67
Senangkepku: Waw Anda sarkas sekali, Mr. Backman, dengan bilang bahwa
makhluk bercula di hutan dapat dibunuh wkwkwk miris banget tapi aku suka
humor-humor menohok sejenis ini. Lanjut, masih pada halaman yang sama:
“Well, unless they’re Hitler. You’re allowed to kill Hitler, if you’ve
got a time machine and an opportunity to do it. Because you must be allowed to
kill one person to save several million others and avoid a world war, anyone
can understand that. But how many people do you have to save in order to be
allowed to kill someone? One million? A hundred and fifty? Two? Just one? None
at all? Obviously, you won’t have an exact answer to that, because no one does.
Let’s take a much simpler example, then: Are you allowed to steal? No, you
mustn’t steal. We agree on that. Except when you steal someone’s heart, because
that’s romantic. Or if you steal harmonicas from guys who play the harmonica at
parties, because that’s being public spirited. Or if you steal something small
because you really have to. That’s probably okay. But does that mean it’s okay
to steal something a bit bigger? And who decides how much bigger? If you really
have to steal, how much do you have to have to do it in order for it to be
reasonable to steal something really serious?” -pg 67
Siapkan kualitas moral
terbaikmu, sahabat, mari kita membicarakan Troley problem. Intermezzo
sedikit, Trolley problem adalah masalah yang dikemukakan oleh seorang
filsuf moral di Oxford bernama Philippa Foot yang membahas tentang sebuah troli
dengan seorang pengemudi yang meluncur di jalur rel. Masalah ditemukan ketika
troli yang meluncur cepat tersebut bertemu lima orang yang berada di jalur
utama. Namun, sebelum bertemu dengan lima orang yang berdiri di jalur utama
terdapat belokan yang memungkinkan perubahan jalur. Namun, di belokan tersebut terdapat
satu orang sehingga hanya ada dua kemungkinan, yakni: 1) Tetap membiarkan troli
melaju lurus dan menabrak 5 orang, atau 2) Berbelok, dan masuk ke jalur
samping, kemudian menabrak 1 orang.
Wahai pembaca yang budiman,
jika kamu berada di posisi tersebut, apa yang akan kamu lakukan? Kebanyakan
orang berpegang pada etika, di mana membiarkan korban yang lebih sedikit lebih
baik ketimbang korban yang lebih banyak sehingga lebih banyak yang akan memilih
berbelok. Nah, meski demikian, apapun pilihan Anda, akan tetap dipertanyakan
secara moral karena tetap akan ada korban yang meninggal -dan korban tersebut
juga adalah seseorang yang memiliki sanak saudara, bukan?. Permasalahan tambah
pelik ketika soal tadi dimodifikasi di
mana satu korban yang (kemungkinan) kamu pilih untuk ditabrak tadi adalah
keluargamu. Jadi apakah keputusanmu berubah? Inilah trolley problem… prok
prok prok
Omong-omong, topik ini juga sedikit disinggung pada buku Fredrik Backman
yang berjudul My Grandmother Asked Me to Tell You She’s Sorry oleh salah
seorang tokohnya, Elsa, yang berusia 7 tahun wkwkwk. Pertanyaannya sama, apakah
benar menyatakan bahwa kamu dapat ‘mengorbankan’ kehidupan dengan menjadikan
‘kehidupan-kehidupan’ lainnya sebagai pembenaran? Jika membunuh adalah suatu
tindakan amoral, apakah membunuh satu orang untuk menyelamatkan ‘banyak’ nyawa
lainnya dianggap benar? Lalu seberapa banyak orang yang harus ‘diselamatkan’
agar tindakan amoral -dalam hal ini pembunuhan- tersebut dianggap benar? Hayoo
mulai overthinking, kan?
“Yes. If I’m being honest, I think that almost all of us have a need to
tell ourselves that we’re helping to make the world better. Or at least that
we’re not making it worse. That we’re on the right side. That even if… I don’t
know… that maybe even our very worst actions serve some sort of higher purpose.
Because practically everyone distinguishes between good and bad, so if we
breach our own moral code, we have to come up with an excuse for ourselves. I
think that’s known as neutralizing techniques in criminology. It could be
religious or political conviction, or the belief that we had no choice, but we
need something to justify our bad deeds. Because I honestly believe that there
are very few people who could live with knowing that they are… bad.”- pg 118
Kemudian di dunia yang penuh dualisme ini, salah satunya baik dan buruk, kita akan senantiasa ingin berada di sisi yang baik nggak sih? Dikenal sebagai orang baik dan sejenisnya. That’s why saat kita melakukan hal yang ternyata berkebalikan dengan standar baik yang kita pegang, kita pasti mencari alasan yang menyebabkan hal tersebut dapat dibenarkan, sebut saja kasus Hitler tadi. Misalnya saja ada kantong Doraemon yang memfasilitasi seseorang untuk kembali ke masa lalu kemudian membunuh Hitler, dia akan bersikeras perbuatan tidak baiknya itu didasari tujuan yang lebih tinggi. Iya nggak sih? Well, di sisi lain, tidak bisa dimungkiri setiap orang punya standard baik buruknya sendiri nggak sih? Sebut saja Hitler dan pengikutnya, mereka mungkin saja menganggap pihak lawan yang ‘jahat’ karena bertentangan dengan nilai yang mereka perjuangkan (?). I mean, kita akan selalu jadi protagonis di cerita kita masing-masing. Hggg… terima kasih kembali atas bahan overthinking-nya 😊
2.
Generation’s gap
Pernah nggak sih kamu merasa ada jurang pemisah yang
besar antargenerasi? Misalnya saja kamu yang merupakan Gen Z yang dan orang
tuamu yang Boomer. Buku ini menceritakan perbedaan tersebut dengan kocak
melalui sosok pasangan ayah anak, Jim dan Jack, yang berprofesi sebagai polisi
dan sedang menangani penyekapan yang dilakukan oleh si perampok bank. Kamu akan
disuguhi bagaimana keduanya berhadapan dengan teknologi -Jim yang kikuk dan
Jack yang fasih dan emosi karena kekikukkan ayahnya. Perbedaan tersebut jugalah
yang sering memicu konflik kecil di antara keduanya, memperparah hubungan
mereka yang dingin. Yak, dan jika kamu pada akhirnya memutuskan membaca buku
ini, kamu akan menyadari bahwa keduanya tetaplah bagian dari keluarga yang
saling menyayangi. Berikut beberapa kutipan terkait generation’s gap.
“When Jim was young, children used to be punished by being sent to their rooms, but these days you have to force children to come out of them. One generation got told off for not being able to sit still, the next gets told off for never moving.” – pg 39
Pernah nggak sih denger keluhan dari
generasi-generasi sebelumnya mengenai betapa kita sudah berada pada tahap
ketergantungan sama gadget? Yup, bahkan anak-anak sekarang sudah fasih berkawan
dengan gadget sedari dini, apa itu petak umpet, gundu, dan permainan outdoor
lainnya? Yang ada kita mendekam di kamar seharian karena terlanjur nyaman
rebahan sambil scrolling mungkin wkwkwkwk.. Yah di posisi itulah kita,
sebagaimana yang ditulis Backman pada kutipan di atas. Nggak mengherankan juga
sih generasi saat ini akrab dipanggil generasi menunduk, abis kerjaannya main
gadget mulu ehe.. (Pssttt.. iklan reminder: jangan lupa olahraga ya pren
supaya tidak encok sejak dini). Next, berikutnya tentang mental
health nih! Fasten your sit belt and here we go!
Topik ini mengingatkanku pada
perdebatan di twitter tentang generasi sebelumnya yang cenderung mengecilkan
masalah kesehatan mental yang dewasa ini lebih sering dibahas. “Ah itu
gara-gara generasi kini cenderung lemah, lagian dulu-dulu masalah yang dihadapi
jauh lebih banyak, tapi kami kuat-kuat aja tuh. Apa masalah kesehatan mental
baru muncul di generasi ini?” blah blah blah.. Hmm, kutipan tadi mungkin
bisa jadi jawabannya, generasi kita mungkin sudah mulai menumbuhkan kesadaran
kolektif (asek asek kesadaran kolektif :v padahal belom se-masif itu juga sih
sebenarnya) mengenai pentingnya mempelajari diri sendiri, termasuk dalam hal
kesehatan mental. Jadi masalah kesehatan mental ya pasti sudah ada sejak lama,
namun mungkin fokus perhatian generasi sebelumnya belum menyentuh topik ini
sehingga terkesan ‘tidak ada’ padahal ‘belum diberi perhatian’.
3. Social Media Nowadays
“The
truth of course is that if people really were as happy as they look on the
Internet, they wouldn’t spend so much damn time on the Internet, because no one
who’s having a really good day spends half of it taking pictures of themselves.
Anyone can nurture a myth about their life if they have enough manure, so if
the grass looks greener on the other side of the fence, that’s probably because
it’s full of shit.” – pg
73
Sekali lagi, ini menyentil sih, yaiyaaa juga sih, Mr.
Backman, kalau eh tapi kalo dilihat dari sudut pandang yang berbeda di bagian taking
picture kali aja buat dokumentasi alias buat mengenang momen itu nantinya
nggak sih? Yaa, aku tidak melayani perdebatan tim ‘nikmati momen kebersamaannya
saat itu juga, dong!’ dengan tim ‘lho emang kenapa kalo
setengahnya dipake foto-foto buat di posting? Kan biar ada kenangan
jugaa..’ Silakannn YOU DO YOU ehee, lakukanlah hal yang membuat kita
senang selama tidak meyakiti orang lain, kan? Setelah membicarakan dari sudut
pandang si orang yang mengunggah foto, mari bahas dari sudut pandang si
penikmat postingan.
Yak pokoknya tidak dapat dimungkiri media sosial juga
merupakan koin dengan dua sisi, bukan? Mungkin ada saatnya kita scrolling lalu
melihat seberapa sukses dan bahagia orang-orang di sekeliling kita menjalani
kehidupannya, betapa asik mereka liburan, betapa hangat keluarganya, dan betapa
betapa lainnya yang berujung pada rentetan pertanyaan-pertanyaan tak berujung
tentang apakah keluarga kita sehangat mereka? kenapa liburan kita tidak seasyik
mereka? Atau kenapa rekan kerja kita tidak selucu mereka, kenapa kenapa lainnya
dan pembandingan yang tidak berkesudahan. Lebih parahnya lagi, kadang alih-alih
termotivasi atau turut bahagia atas kebahagiaan mereka, kita malah memasuki
jurang insecure yang dalam wkwkwk… Well, di sinilah media sosial
sudah masuk ke dalam ketegori toxic sehingga mungkin dibutuhkan lebih
banyak ‘kesadaran’ dalam penggunaannya -kesadaran untuk rehat sejenak jika
sudah terasa menimbulkan dampak yang buruk, kesadaran bahwa postingan
tersebut pasti menunjukkan momen-momen baik dari kehidupan seseorang, bahwa
postingan tersebut mungkin cara seseorang mengekspresikan diri, dan bahwa apa
yang kita lihat melalui postingan tersebut hanya sebagian kecil dari kehidupan
seseorang. Dengan mencoba menerapkan kesadaran-kesadaran tersebut, mungkin kita
juga dapat meminimalisasi hate speech dan sebangsanya.
4. Kebahagiaan
“I didn’t say that money was happiness. I said happiness
is like money. A made-up value that represents something we can’t weigh or
measure.” – pg. 104
Jika berbicara tentang kebahagiaan, aku setuju deh dengan kutipan satu ini. Uang bukanlah kebahagiaan, tapi kebahagiaan sebelas dua belas dengan kebahagiaan yang merupakan ‘nilai’ yang kita buat untuk merepresentasikan sesuatu yang tidak dapat kita hitung. Walaupun indeks kebahagiaan telah dihitung BPS, ukuran tersebut nyatanya tidak mencakup keseluruhan aspek kebahagiaan, kan? Jadi, seberapa bahagiakah kamu?
5. Kapitalisme
Benar sekali,
sahabat, kalian tidak salah baca, KAPITALISME! Kaget, kan? Buku ini membahas
tentang bagaimana seseorang berinvestasi di bank dan berujung kehilangan
seluruh hartanya (jujur aku kurang ngerti bagian ini sih). Selain itu, buku ini
juga membahas usaha jual beli properti (apartemen) yang dilakukan oleh orang-orang
dengan banyak uang untuk menimbun kekayaan mereka sehingga permintaan terhadap apartemen menjadi tinggi dan menimbulkan naiknya harga
properti/apartemen. Hal ini tentunya merugikan orang yang sedang benar-benar
membutuhkan apartemen sebagai tempat tinggal karena harganya yang tidak
terjangkau. (Semoga aku nggak salah nangkep, ya!) Sempat dibahas juga bahwa
sudah seharusnya pasar (dalam hal ini jual beli apartemen) berjalan secara otomatis tanpa adanya rekayasa/campur
tangan dari para penimbunan kekayaan yang membeli properti dengan harga
tinggi sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang berada (ini invisible
hand-nya Adam Smith bukan sih?). Ada juga pembahasan tentang moral hazard dalam bank yang bikin aku planga-plongo karena kurang paham wkwkwk
6.
Parenthood
“Parenthood can
lead to a sequence of years when the children’s feelings suck all the oxygen
out of a family, and that can be so emotionally intense that some adults go for
years without having an opportunity to tell anyone about their own feelings,
and if you don’t get a chance for long enough, sometimes you simply forget how
to do it.” – pg 78
Topik overthinking
lainnya adalah sulitnya menjadi orang tua. Sepanjang cerita, kamu akan
banyak sekali bertemu kecemasan-kecemasan orang tua, mulai dari kecemasan calon
orang tua, orang tua lama (lho?), dan bahkan orang tua yang menginginkan cucu,
namun anaknya memutuskan untuk childfree. Salah satu yang paling berkesan
adalah kutipan satu ini karena menggambarkan bagaimana susahnya menjadi orang
tua. Bener nggak sih, kehadiran anak bisa menyita seluruh perhatian orang tua
yang terkadang menyebabkan mereka melupakan diri mereka sendiri (?). Seperti
kutipan di atas, pada suatu titik, segelintir orang tua bahkan tidak bisa
menyampaikan perasaannya sendiri karena hal tersebut terbiasa dikesampingkan
selama mengurus anak. Perubahan identitas juga terjadi nggak sih dan hal ini
sering kutemui saat membaca buku lainnya, sebut saja pada buku Kim Ji-Yeong dan
Perempuan yang Menangis pada Bulan Hitam di mana seorang ibu merasa
kehilangan identitasnya setelah memiliki anak. Juga pada buku Ari Dante di
mana si anak menyatakan bahwa ia tidak mengenal ibunya sebagai seorang pribadi
di luar sosoknya sebagai ibu. Bagaimana menurutmu, apakah menjadi orang tua
berarti kehilangan identitas?
7.
Kindness
Sekadar mengingatkan, walau sepertinya sudah kusebutkan
berulang kali, buku ini hangat sekali, baik karena memvalidasi
kecemasan-kecemasan yang kita sering rasakan, maupun karena nilai-nilai
kehidupan dan kebaikan yang terkandung di dalamnya. Berikut beberapa kutipan
yang kusukai:
“How do you eat
an elephant, sweetheart?” He replied the way a child who’s heard the same joke
a thousand times does: “One bit at a time, Mom.” She laughed just as loudly,
for the thousandth time, the way parents do. Then she held his hand tightly and
said: “We can’t change the world, and a lot of the time we can’t even change
people. No more than one bit at a time. So we do what we can to help whenever
we get the chance, sweetheart. We save those we can. We do our best. Then we
try to find a way to convince ourselves that that will just have to… be enough.
So we can live with our failures without drowning.”- pg 238
Jadi ini adalah kutipan percakapan Jack dengan
ibunya yang merupakan seorang pendeta. Percaya deh, kalo kamu tau keseluruhan
ceritanya, kutipan ini akan jauh lebih ngena. Benar, kesadaran bahwa kita nggak
serta merta bisa merubah dunia harus lebih dihayati lagi, sekaligus fakta bahwa
kita dapat berkontribusi melalui kebaikan-kebaikan kecil. One bit at a time.
Lalu kita juga harus berusaha sebaik mungkin melakukan apa yang dapat kita
lakukan, karena hal itulah yang nantinya membantu kita menghindari penyesalan.
Setidaknya kita telah berusaha melakukan yang terbaik, bukan? Intinya, tetaplah
berbuat baik, sekecil apapun itu, seperti yang dinyatakan dalam kutipan di
bawah, kiamat esok haripun tidak boleh menghentikan kita untuk berbuat baik.
If anyone asked her to sum up her view of the world, she always quoted Martin Luther: “Even if I knew that tomorrow the world would go to pieces, I would still plant my apple tree.” – pg 236.
Pada akhirnya, sudah sebaiknya kita tetap saling menghargai
dan bersikap baik satu sama lain, kan? Sesederhana karena kita nggak tau seberat
apa beban yang dipikul orang lain, atau seberapa (masukkan kata makian di sini)
hari yang dilalui oleh orang itu. Karena kita sama-sama pribadi yang selalu
berusaha menjadi baik, selalu berusaha jadi kebanggaannya seseorang, selalu
berusaha menyenangkan seseorang, kita selalu ingin dikenal sebagai orang yang
baik. Kan? Makanya jangan tiba-tiba hate speech, jangan komen julid “eh
kok kamu suka (masukkan hobi orang lain yang menurutmu aneh) sih? kan (hobi)
itu (masukkan alasan kamu tidak menyukainya)”, jangan malah adu nasib saat
orang lain menceritakan kesedihannya, jangan bilang “ah gitu doang sedih/ngeluh/(masukkan
emosi di sini)”. Sesederhana karena kita nggak tau apa yang telah mereka lalui.
Sebut saja hobi, mungkin ada orang yang menjadikan hobi itu sebagai salah satu
alasan mereka untuk bertahan (hidup) sampai saat ini. (Di bukunya Matt Haig
yang The Reason to Stay Alive dia pernah bilang mau menunda keputusannya
untuk mengakhiri hidup karena masih nungguin series film kesukaannya rilis). Singkatnya,
kita nggak pernah tau bahwa hal yang (mungkin) kita anggap sepele itu sangat
berpengaruh terhadap hidup orang lain.
“…. that was why you should always be nice to other
people, even idiots, because you never know how heavy their burden is. Over
time she realized that deep down almost everyone asks themselves the same sort
of questions: Am I good? Do I make anyone proud? Am I useful to society? Am I
good at my job? Generous and considerate? A decent shag? Does anyone want me to
be their friend? Have I been a good parent? Am I a good person? People want to
be good. Deep down. Kind.”-pg.
124
8. Menjadi Dewasa
Sebelumnya, mau nanya dulu deh. Menurut dirimu sendiri, sudahkah kamu dewasa? Katanya sih, bertambah tua itu pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan. Setuju nggak? Pertanyaan selanjutnya, apakah dulu saat kamu kecil kamu juga masuk ke golongan yang ingin cepat menjadi dewasa? Karena bisa memutuskan segala sesuatunya sendiri, tentunya. Well, jadi gimana sekarang? Keinginannya sudah tercapai atau malah ingin balik ke masa kecil lagi? Kutipan di bawah ngena banget sih menurutku! Bagian tersulit dari menjadi dewasa adalah kita harus mengambil keputusan sendiri dan tentunya ada tanggung jawab yang mengikuti keputusan tersebut. Kalo kata Mr. Backman kita harus punya pendapat tentang segala sesuatu, harus tau mau memilih siapa saat pemilu, kertas dinding yang akan kita gunakan di kamar, preferensi gender kita (mungkin di Indonesia permasalahan menyangkut hal ini lebih sedikit dibandingkan negara yang melegalkan LGBT, atau lebih terselubung ups), hingga memilih yogurt yang mewakili kepribadian kita. Hal tersebut terkadang menjadi beban tersendiri sehingga kita seringkali ingin kembali ke masa kanak-kanak saja, saat tidak ada keputusan berat yang perlu diambil alias kebanyakan haha hihi main kesana kemari. Berbeda dengan keadaan saat ini, malah kita yang sering diketawain sama hidup. Being an adult sucks, katanya. Jadi keinget penutup iklan Tri, deh, “Jadi orang gede emang menyenangkan tapi susah dijalanin”.
“When you’re a child you long to be an adult and decide everything for yourself, but when you’re an adult you realize that’s the worst part of it. That you have to have opinions all the time, you have to decide which party to vote for and what wallpaper you like and what your sexual preferences are and which flavor yogurt best reflects your personality. You have to make choices and be chosen by others, every second, the whole time.” – pg 216
Di sisi lain, menjadi dewasa juga berarti meningkatnya tanggung
jawab dan tuntutan untuk menjadi mandiri, kalau menukil kata Mr. Backman,
katanya kita harus menyadari bahwa tidak ada yang peduli dengan kita. Jadi,
dengan menjadi dewasa kita harus melakukan segala sesuatunya sendiri, termasuk
mencari tau bagaimana segala sesuatu di dunia bekerja. Jadi gimana? Apakah
kalian semakin menghayati kalimat penutup iklan Tri?
“Because
the terrible thing about becoming an adult is being forced to realize that
absolutely nobody cares about us, we have to deal with everything ourselves
now, find out how the whole world works”- pg 56
Setelah baca buku ini, tidak dapat dimungkiri aku semakin
menghayati kalimat “being an adult sucks”.
Eh tapi setelah dipikir lagi, beranjak dewasa nggak semenyebalkan itu juga kok.
Selama berwara-wiri lalala-lilili memasuki dunia pascaperkuliahan, aku menyadari bahwa ada kesenangan tersendiri
saat aku berhasil menyelesaikan hal-hal yang sebelumnya belum pernah kulakukan
sendiri, juga saat jadi tau apa yang sebelumnya aku nggak tau. Aku jadi
menyimpulkan bahwa, bahkan menjadi dewasapun adalah sebuah proses belajar. Jadi,
selama kita mau belajar, sepertinya semua akan baik-baik saja. Kesadaran bahwa
menjadi dewasa bukan perubahan sekali jadi – tidak seperti berubah jadi power
ranger- juga perlu, supaya kita dapat menerima kesalahan-kesalahan
yang kita buat selama prosesnya dan alangkah lebih baik jika mau
belajar dari kesalahan itu. Lalu,
bagian yang “tidak ada yang peduli dengan kita” aku kurang setuju sih, memang
kita dituntut untuk belajar lebih, tapi dalam prosesnya pasti ada pihak-pihak
yang bisa kita tanyai, bahkan orang-orang baik yang bersedia menuntun dan
mengajarkan hal-hal yang kita nggak bisa. Kesimpulannya? Yaa, mungkin menjadi
dewasa tidak menyebalkan itu 😊
9. We’re all trying our best
“Because we’re doing the best we can, we really are.
We’re trying to be grown-up and love each other and understand how the hell
you’re supposed to insert USB leads. We’re looking for something to cling on
to, something to fight for, something to look forward to.” – pg 391
Pada akhirnya, ya kita selalu mengusahakan yang
terbaik, kan? Jadi, setelah menghadapi apapun yang kamu hadapi dalam suatu hari,
se-(masukkan kata makian) apapun hari itu, jangan lupa berterimakasih untuk
diri sendiri. Kalau kata Mr. Backman, “… when you get home this evening,
when this day is over and the night takes us, allow yourself a deep breath, because
we made it through this day as well. There’ll be another one along tomorrow.”
Sekian bahan overthinking-nya, sama-sama. Sekilas info lagi, buku ini juga menceritakan hal yang cukup sensitif yaitu suicide (tapi di sini malah dapet sisi penuh harapan gitu kok), namun alangkah lebih baik tetap mengecek trigger warning terlebih dahulu sebelum membaca buku ini, because your mental health matter the most 😊 Last, buku ini dapat dibaca secara digital via Google Playbook dan Scribd, atau dengan membeli buku fisiknya di toko buku kesayanganmu yuhuuu.. Sekian review best book of the year 2021, Happy New Year 2022, everybody! Ciaooo..