Tulisan ini dibuat September 2019, dalam rangka ngisi buku Reuni Alumni AIS (Akademi Ilmu Statistik). Judul bukan aslinya, tapi karena judul file-nya ke-save gitu dan males mikir lagi jadi yaudah hehe :) Oh iya btw yang bingung kenapa judulnya gitu, itu salah satu baris lirik lagu Banda Neira yang judulnya Hujan di Mimpi, guys hehe. Makanya tiap liat judulnya aku bacanya pake nada :)
Seperti hari-hari lainnya, hari ini senja
singgah sebentar saja di langit ibukota. Bukan tanpa alasan senja memilih
singgah lebih sebentar, toh warga metropolitan tak pernah peduli dengan
kedatangannya. Ditambah lagi langit ibukota yang terlalu sakit untuk berdiam
lebih lama. Apalagi yang bisa diharapkan? Berbeda dengan penduduk di daerah
pedesaan yang senang menikmati senja, para metropolitan lebih senang tergesa,
menekan klakson, mengeluh, dan bahkan mendaftarkan kebiasaan menerobos lampu
merah sebagai salah satu hobi. Ya apa boleh buat? Namanya juga ibukota! Senja
yang singkat juga berarti tak ada yang berubah dari kebiasaannya memberlakukan
kampus biru ini. Paling banter menjawilnya sebentar lalu pergi lagi.
Berbeda dengan konsistensi senja,
kampus biru ini sarat akan perubahan. Ia senantiasa beradaptasi, beriringan
dengan generasi demi generasi yang datang dan pergi silih berganti. Setiap
generasi membawa ceritanya tersendiri, sehingga jika saja perwakilan tiap
generasi berkesempatan menikmati senja sambil minum kopi di depan kampus biru
saat ini juga, satu persatu cerita perbandingan akan muncul. “Ah dulu belum ada
ini”, “Dulu ada pohon di sana”, “Itu gedung baru ya?”, dan kalimat-kalimat
nostalgia lainnya. Cerita tersebut tidak lain merupakan sejarah Si Kampus Biru,
perjalanannya bertransformasi hingga menjadi seperti yang dilihat sekarang ini.
Sebagaimana yang dikatakan Bung Karno, “Jas merah: jangan sekali-sekali
melupakan sejarah”, perjalanan dalam bertransformasi tersebut tentunya tidak
boleh dilupakan begitu saja yang berarti cerita-cerita tiap generasi tidak
boleh putus.
Akademi Ilmu Statistik (AIS), nama Kampus
Biru kala itu. Sebuah nama yang bagi generasi yang tidak secara langsung
menorehkan cerita bersamanya hanya disebut saat menceritakan sejarah Polstat
STIS atau saat perayaan Dies Natalis. Tentunya memberikan kesan yang berbeda
dengan generasi-generasi secara langsung menjadikan nama tersebut sebagai
tempat menggantungkan mimpi dan cita-cita yang dimiliki. Generasi-generasi yang
berhubungan langsung dengan AIS tentunya memiliki ruang khusus untuk menyimpan
memori mengenai perjalanan, perjuangan, dan suka duka yang kemudian disebut
kenangan. Kenangan inilah yang bertahan hingga saat ini, tak terhalangi ketiadaan
handphone merek terbaru zaman itu, atau 5 mega pixel kamera depan untuk selfie.
Semua tersimpan begitu saja dan tentu saja siap dikeluarkan kembali disaat-saat
yang tepat untuk bernostalgia. Di sinilah sebenarnya letak rahasia senja,
sebenarnya di waktu singgahnya yang singkat ia tidak hanya menjawil si kampus
biru, tetapi juga mengabarkan bahwa banyak generasi-generasi yang sedang rindu.
Sebuah kerinduan yang membanggakan.
Di salah satu sisi lain ibukota, waktu
masih menunjukkan jam kerja, namun hal tersebut tidak menghalangi
berlangsungnya sebuah pembicaraan asyik diselingi senda gurau dari segerombolan
orang. Ramai suara kendaraan yang hilir mudik, pelayan resto yang lalu lalang
mengantarkan pesanan, dan aroma makanan lezat yang menguar sama sekali tidak
mampu mengalihkan fokus pembicaraan mereka. “Eh, gak kerasa udah jam segini
nih”, seru salah satu perempuan paruh baya saat penunjuk waktu mengingatkan bahwa
jam istirahat makan siang telah berakhir. “Ahh santai saja, kita kan sudah
pensiun, jadi udah nggak perlu balik kantor lagi deh”, sahut wanita paru baya
lainnya sambil tertawa puas. “Bener banget, Teh, kalo belum pensiun mah, mana
bisa kita nongki-nongki di sini”. Jawaban tersebut kontan menyebabkan tawa
meledak di lingkaran pembicaraan tersebut. “Teh teh, coba liat deh ini angkatan
saya dulu, cuma 20 orang. Lucu ya masih cupu-cupu! Sekarang mah sudah ngejreng
semua.” Tawa hangat kembali menyambut sembari satu persatu sang lawan bicara
bergiliran melihat foto yang disodorkan sang pemilik gawai. “Dulu mah masih
bebas, belum pakai seragam. Kalau sekarang sudah pakai seragam, isi pangkat,
macem-macem”, sahut yang lainnya. Pembicaraan seperti itu terus berlangsung
hingga menjelang petang. Bernostalgia memang terkadang membuat lupa waktu,
bukan? Selanjutnya, rombongan wanita paruh baya tersebut berpisah setelah
sebelumnya telah memenuhi galeri dengan foto bersama terkini. “Untuk dibuat
perbandingan antara dulu dan sekarang”, tandas ibu berbaju merah yang paling
bersemangat mengambil foto. Di sisi matahari yang menggelinding ke barat, senja
mulai mengintip, siap menjawil si kampus biru dengan cerita nostalgia para
perempuan paruh baya yang tidak lagi berjibaku dengan jam kerja ibukota. Si
kampus biru tersenyum, “Ah aku juga merindukan mereka.”
Nun jauh di sana di pulau Sumatra hal
serupa juga terjadi. Perhelatan besar mengundang sebagian besar pejuang data
untuk berkumpul di satu tempat. Di saat-saat seperti inilah kesempatan harus dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya, untuk reuni kecil-kecilan tentunya. Sambil menikmati
kudapan yang disajikan dalam acara tersebut bapak paruh baya yang berkeja rapi
memulai percakapan “Eh, udah lama banget nggak ketemu! Apa kabar lu?”, tanyanya
dengan aksen bicara khas ibukota. “Si Arif mah makin keren aja sekarang, lihat
aja tuh dari cara berpakaiannya yang udah mentereng.” Seketika tawa pecah
memenuhi seluruh ruangan. “Nggak kerasa ya sekarang udah kerja aja, kalo
dipikir-pikir dulu perjuangannya sebandinglah sama apa yang didapetin sekarang”,
sahut lelaki paruh baya berjas rapi yang duduk di sudut. Obrolan pun berlanjut
ke banyak topik pembicaraan seperti cewek yang ditaksir semasa kuliah dan gagal
dijadikan istri, perbandingan uang ID dulu dan sekarang, rutinitas di dunia
perkuliahan yang tak terlupakan, bahkan akan makin ngalor ngidul kesana kemari
jika saja MC tidak menginterupsi dengan sapaan khas pembukaan acara. Cerita
nostalgia tersebut berpilin di udara, sementara disimpan malam untuk kemudian
diantarkan senja diesok hari saat menjawil si kampus biru.
Nama Akademi Ilmu Statistik (AIS)
yang tersemat di tempat tersebut tentunya telah cukup mendeskripsikan jenis
institusi ini bagi orang-orang yang terlibat langsung di dalamnya. Dilihat dari
luar, gedung yang pertama kali dibuka pada tahun 1958 dan sebenarnya masih menumpang
di gedung Pusdiklat (Pusat Pendidikan dan Pelatihan) ini terdiri dari satu
bangunan utama. Dari visualisasi tersebut tentunya sudah dapat dibayangkan bagaimana
dinamika kehidupan mahasiswa/mahasiswinya. Memasuki ruangan kelas, mahasiswa
akan disambut oleh ruangan yang ditata sedemikian rupa dengan beberapa
fasilitas tambahan yang terbilang sangat minim, seperti papan tulis, kapur, spider
chart, dan tidak ketinggalan debu-debu kapur sisa menulis yang berdifusi
secara merata ke seluruh ruangan. Buku-buku pun masih sangat terbatas dan kebanyakan masih
berbahasa Inggris. Pada masa itu tidak ada AC, yang menjadi alasan paling logis
para mahasiswa untuk membuka jendela kelas yang berbatasan langsung dengan
jalan raya. Tentu saja jalan raya ibukota tidak seramah itu untuk berbagi udara
bersih sehingga berujung pada bau asap knalpot yang memenuhi ruangan dan
menyebabkan batuk seisi ruangan. Selain ketiadaan AC, kala itu juga tidak
mengenal papan putih dan spidol, sehingga alat pembelajaran di depan kelas
tidak jauh-jauh dari kapur dan papan hitam. Melalui media ini, mahasiswa/i
dituntut untuk memiliki ketelitian yang tinggi agar tidak salah melihat akibat
papan yang tidak terhapus dengan bersih. Hal ini tentunya sangat rentan terjadi
pada notasi-notasi matematika, misalnya saja sigma yang terlihat seperti lamda.
Cerita menarik mengenai kegiatan belajar
tentunya tidak terputus sampai di sana, hal menarik lainnya datang dari
keterbatasan kemampuan berkomunikasi antara dosen dengan mahasiswa. Pada masa
itu, para dosen pengajar sebagian besar berasal dari luar negeri sehingga proses
belajar mengajar dilakukan dalam bahasa Inggris. Hal tersebut tentunya
menimbulkan cerita-cerita kekonyolan tersendiri, salah satunya adalah pelafalan
kata “procedure” oleh dosen namun yang didengar mahasiswa adalah kata “Persija”. Kesalahan tersebut berujung pada jawaban
iseng salah satu mahasiswa, “Terus kapan Persebaya-nya?” disusul dengan tawa
yang meledak di kelas tersebut. Di samping kehidupan belajar mengajar, proses
sosialisasi dan keseharian mahasiswa juga memberikan warna tersendiri bagi
kehidupan mahasiswa/i nya. Jumlah mahasiswa kala itu jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan sekarang, di mana satu angkatan hanya terdiri dari 10
sampai 50 orang mahasiswa. Hal tersebut tentunya menyebabkan satu angkatan
pasti mengenal satu sama lain minimal dalam hal identitas. Titik temu sekaligus
titik awal dari kebersamaan tiap angkatan tidak lain adalah mapram, atau pada
generasi yang lebih muda bernama magradika.
Seiring berjalannya waktu, perjuangan yang
dihadapi bersama secara tidak langsung telah membangun sebuah ikatan yang erat
satu sama lain tidak hanya antar angkatan, tetapi juga lintas angkatan. Ikatan
tersebut tumbuh tidak lain dikarenakan adanya adanya semangat senasib
sepenanggungan sebagai anak daerah yang berjuang melawan kerasnya ibukota untuk
menaikkan taraf hidup keluarga. Ditambah lagi dengan beraneka dinamika
kehidupan bersosialisasi yang memberikan warna-warna tersendiri dan memori yang
takkan pernah terlupakan. Sebut saja kebiasaan bergantungan di bus harion yang
penuh sesak, perjalanan berjalan kaki dari Kampung Melayu, kegemaran bermain
kartu bersama, kehidupan berasrama, dan masih banyak lagi. Cerita menarik juga
datang dari kebiasaan mahasiswa/i saat merindukan kampung halaman. Pada masa
itu, menghubungi keluarga di daerah tidaklah seperti sekarang yang dapat
dilakukan semudah mebalikkan telapak tangan. Ketiadaan HP menyebabkan para
mahasiswa/i akrab dengan surat menyurat atau kebiasaan mengantre di telepon
umum yang terletak di depan kampus. Jika lama saja sedikit, si penelepon harus
siap dengan resiko pintu diketok terus menerus dan wajah kesal yang menyambut
dari si pengantre selanjutnya.
Semua canda tawa, senda gurau, dan
hal-hal konyol tersebut tentunya merupakan beberapa cerita manis di balik
keterbatasan fasilitas, ruangan, dan kerja mahasiswa/i dalam menghabiskan waktu
untuk berkutat dengan buku guna meraih impian yang mereka gantungkan. Hal
tersebut membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah sebuah penghalang bagi
mahasiswa/mahasiswi tegar yang rela melepas pelukan ibu di kampung halaman
untuk dibentuk oleh kerasnya ibukota. Sebuah kutipan menyatakan, “Tidak ada
jalan menuju kesuksesan yang bertaburan bunga, melainkan penuh dengan baru dan
kerikil yang menjadi halangan dan rintangan.” Tak ubahnya kutipan tersebut, hal
tersebut juga terjadi pada dinamika kehidupan mahasiswa/i AIS. Keadaan kampus
yang seadanya, akses jalan, tidak menjadikan hal tersebut sebagai halangan bagi
mahasiswanya dalam berkarya dan senantiasa berjalan ke arah yang lebih baik.
Segala kekurangan dan kesulitan yang dialami tidak lain dijadikan sebagai karet
ketapel yang ditarik ke belakang namun bertujuan untuk membawanya melesat ke
depan. Senja datang dan pergi menyaksikan satu persatu tunas bangsa bertumbuh
menjadi statistisi muda yang nantinya akan menentukan kualitas data bangsa.
“Hasil tidak akan menghianati
usaha”, itulah yang diyakini orang-orang selama ini, baik sebagai sebatas quotes
saat semangat mulai surut atau bahan bakar utama dalam berusaha. Jika
diibaratkan dengan Hukum III Newton, usaha dan hasil tidak ada bedanya dengan
aksi dan reaksi di mana seberapa banyak aksi, sebanyak itu jugalah reaksi yang
akan diterima. Hal itu jugalah yang terjadi d kampus biru. Perjuangan tiada
henti yang dilakukan mahasiswa-mahasiswinya memberikan sebuah hasil yang
membanggakan di mana setiap generasi yang datang mampu menamatkan proses
pembelajaran. Hal tersebut dibuktikan dengan kemampuan generasi perintis
memperkenalkan pentingnya data dan profesi statistisi. Tentunya dalam usaha tersebut
tidak dilalui semudah membalikkan telapak tangan, melainkan melalui proses
pendekatan yang dilakukan secara bertahap. Dalam proses tersebut, dinamika
kehidupan mahasiswa yang menjadi alumni pun tidak kalah menarik dibandingkan
dengan kehidupan selama perkuliahan. Namun, hal tersebut tentunya bukanlah hal
yang terlalu berarti karena tantangan telah menjadi teman bagi mahasiswa/i saat
belajar di AIS. Di tangan-tangan alumnilah nama AIS memasuki sebuah babak baru
transformasinya, menerompetkan nama AIS, BPS, dan statistik agar lebih dikenal
masyarakat luas.