Kausalitas Baskara
To : Baskara
Subject: Statistika atau Puisi?
Hai, Bas! How’s
life? Aku yakin kau baru saja memaki sembari bertanya-tanya siapakah orang sinting
yang mengganggu inbox-mu di saat rentan seperti ini. Di sisi lain kau
tetap membukanya, karena subject yang kugunakan terasa akrab sekaligus
asing, dekat tapi berjarak. Aku adalah dirimu, Baskara Gilang, yang menyuratimu
dari masa depan. Setelah membaca kalimat tadi, aku yakin kau dengan agresif
mengarahkan tetikusmu ke icon refresh, berharap ini hanya halusinasi
bodohmu akibat frustrasi karena kampus impianmu baru saja menghadiahimu
kegagalan. Tetapi percuma saja, kau tetap akan mendapati surat ini terpampang
di layarmu karena aku telah membayar mahal untuk melakukannya. Tahun berapa
tepatnya aku berasal sengaja tidak kubocorkan, agar kau tetap menjalani setiap
harinya dengan maksimal tanpa perlu bergegas ataupun menunggu. Mengejutkan
bukan? Tentu saja! Bukankah ini memberikanmu sedikit gambaran mengenai seberapa
majunya teknologi di zamanku. Jujur, aku sendiri merasa rikuh, bahkan membayangkan
berbicara pada diriku di masa lalu terasa menggelikan. Aku juga tidak akan
memaksamu percaya, mengingat kau (atau haruskah kubilang diriku sendiri) adalah
pribadi terlampau kritis yang selalu mempertimbangkan segala sesuatu. Jauh berbeda
dengan orang-orang di zamanmu yang umumnya gemar menelan bulat-bulat segala
informasi, bahkan sok baik dengan selalu meneruskannya ke semua grup yang ada
di gawai.
Tujuanku
menulis ini adalah untuk memastikan kau baik-baik saja. Meskipun fakta bahwa eksistensiku
sekarang menunjukkan bahwa kau dapat melewati masa sulit ini dengan baik. Tetapi
tetap saja, aku tidak ingin kau merasa melewatinya sendiri, karena aku tau
persis seberapa kuat kegagalan dan rasa kesepian mengundang keinginan untuk mengakhiri
segalanya. Aku sekaligus bermaksud mengingatkan, betapa sebenarnya kau tidak
pernah sendiri Bas, meskipun seringkali kau merasa begitu. Jadi daripada
memikirkan sebuah akhir, lebih baik rayakanlah kegagalanmu hari ini. Keluarlah
dari ‘jebakan maskulinitas’ sialan yang mengatakan bahwa tidak seharusnya
laki-laki menangis. Ayolah! Bukankah laki-laki juga manusia? It’s okay to
cry a goddamn river tho!
Omong-omong,
dalam rangka membuatmu merasa lebih baik, aku akan menceritakan sedikit tentang
masa depan yang kutinggali. Jika saja kau penasaran alasanku memberitahumu, jawabannya
sesederhana karena aku tahu persis bahwa kepalamu cukup keras untuk digoyahkan
orang lain. Kau bahkan akan tetap mati-matian memperjuangkan rencanamu dengan
atau tanpa masuknya pesan ini ke inbox-mu hari ini. Jadi aku cukup
yakin, memberitahumu sedikit tidak akan mengubah masa depan secara signifikan. Sejujurnya
aku sangat bersemangat untuk menyombongkan diri, karena zaman yang kutinggali telah
jauh lebih maju dari yang kau tinggali sekarang. Kupastikan kau akan pangling
pada perubahan Indonesia ke arah kemajuan, meskipun tentunya tidak seekstrem
dunia dalam Brave New World yang ditulis Aldous Huxley. Namun setelah kupikir
lagi, aku seharusnya cukup tau diri untuk mengingat bahwa kita adalah sebentuk kausalitas,
sebab dan akibat. Aku di masa depan tidak akan melihat kemajuan ini, jika aku
di masa lalu, alias kau, tidak berjuang dengan keras mewujudkannya. Intinya, Indonesia
saat ini terwujud tidak lain karena keringat, kerja keras, perjuangan dan air
mata generasi kita, di mana data dan statistik adalah kuncinya, Bas!
Singkatnya,
zamanku berjalan seperti apa yang selalu kau bayangkan saban belajar
statistika, sebuah masa depan utopis di mana data menjadi pertimbangan dalam
menentukan banyak hal. Semuanya terjadi karena langkah-langkah perubahan kecil yang
dilakukan generasi kita, Bas! Rupanya benar kata James Clear, bahkan satu
persen saja perubahan ke arah yang lebih baik akan memberikan hasil yang
signifikan jika dilakukan secara berkelanjutan seperti halnya 1,01 dan 1
dipangkatkan 365 yang menghasilkan selisih cukup besar. Dari sanalah semuanya
bermula, rencana pasca kegagalanmu hari ini adalah langkah-langkah kecil itu. Berawal
dari komitmenmu menularkan kesadaran terhadap pentingnya data, kemudian bagai
efek domino, kau membuat satu per satu pintu kesempatan terbuka. Pesatnya
perkembangan perusahaanmu juga merupakan bukti nyata bahwa kau tidak sekadar omong
besar belaka, sehingga bermunculanlah Baskara Baskara lainnya. Di titik inilah
perubahan tidak hanya bernilai satu persen, karena generasimu menjadikan statistik
sebagai kunci perubahan di bidang masing-masing; pariwisata, industri,
perdagangan, dan banyak lagi. Semuanya dilakukan berdasarkan data, memodifikasi
dan mencontoh negara yang sudah terlebih dahulu berhasil. Tidak hanya itu, geliat
generasi muda ini kemudian bersinergi dengan pemerintah dalam pembangunan
berbagai sektor di negeri ini. Usaha-usaha itulah yang kemudian berjalin dan
berkelindan makin kokoh dari waktu ke waktu hingga saat ini, Bas!
Kurang
lebih itu saja yang dapat kubocorkan, walaupun aku ragu kau akan percaya. Setelah
mengetahui apa yang akan terjadi, tugasmu adalah tetap mengikuti kata hatimu dan
mengusahakan yang terbaik. Belajarlah dari kegagalanmu hari ini, sebagaimana
kata Murakami, “Ketika kamu keluar dari badai, kamu tidak akan menjadi orang
yang sama dengan saat berjalan masuk. Itulah pentingnya badai.” Sekadar
bocoran, sebentar lagi kau akan mendapati sticky note dengan kutipan
tadi tertempel di meja kerjamu, dari Alisia tentunya. Alisia, ah gadis cantik
itu. Perlakukanlah dia dengan baik, Bas! Kau pasti tak lupa betapa kalian telah
dekat sedari kecil, saat kalian bertumbuh sambil berbagi mimpi. Kau dengan
omong besar mengenai angka yang kau anggap sebuah seni sedangkan Alisia dengan kata,
majas, dan hal-hal melankolis yang disukainya. Alisia juga teman membaca
pertama yang persis sepertimu -mencintai buku hingga menjadikan perpustakaan
sebagai rumah kedua- meskipun bacaan kalian terbilang sangat berbeda. Sejak
dulu kau gemar berkutat dengan Naked Statistics, Everybody Lies, dan
sebangsanya, sedangkan Alisia lebih akrab dengan kumpulan puisi Jokpin,
Sapardi, hingga Neruda. Sungguh perbedaan yang mencolok, tetapi bukankah
pelangi terlihat indah karena terdiri dari warna yang berbeda-beda? Karena
alasan itulah kau menyukainya, Bas! Karena kau adalah sebentuk keseriusan yang jatuh
cinta pada manisnya beberapa baris puisi bernama Alisia. Jadi nanti, alih-alih
mendorongnya menjauh karena kau terlalu ambisius mengejar mimpi-mimpimu, jadikanlah
dia bagian dari mimpimu juga. Berjuanglah beriringan dengannya, Bas karena hanya
Alisialah yang telah tulus menyayangimu hingga tak tau caranya berhenti.
Terkhusus yang satu ini, kuharap kau berhenti keras kepala dan mendengarkanku
sebelum kau menyesalinya.
Kemudian,
di samping angka, data, statistika, Alisia, mimpi besar, dan ini-itu yang kau
kejar, jangan lupakan diri sendiri, Bas! Aku tau seberapa besar mimpi yang kau
perjuangkan, tapi percayalah setelah sampai di titik ini kau tetap akan memiliki
daftar panjang penyesalan. Jadi tak apa, jangan terlalu memaksakan diri untuk
terus berlari dengan kecepatan penuh karena hidup bukanlah lomba lari sprint
100 meter, Bas! Hidup adalah lari marathon di mana seberapa cepat larimu
dan kekuatanmu diputuskan oleh dirimu sendiri. Jadi, cintailah dirimu sendiri
juga, sesederhana memperhatikan kesehatan dan berhenti menyalahkan dirimu
terlalu sering. Terakhir, terima kasih sudah berjuang sejauh ini, Bas!
***
Baskara
memandangi komputernya yang berdenyar, menyentuh opsi send setelah
membaca ulang tulisannya untuk terakhir kali. “Bas, semoga kali ini kau tidak
cukup keras kepala”, bisiknya lirih. Lima detik berselang, komputer itu berdenting
tanda pesan telah terkirim, menyadarkan Baskara yang tenggelam di secarik sticky
note kuning terlaminating di mejanya. “Pak Bas. Apakah saya boleh masuk?”,
suara sekretasis Baskara terdengar bersamaan dengan suara pintu yang diketuk
pelan. “Masuk saja, Sri”, jawabnya. Pintu dibuka pelan, kemudian perempuan
setengah baya dalam setelan hitam itu melangkah canggung memasuki ruangan. Hari
ini pandangan Sri terlihat lebih menerawang, seolah ada sendu yang bercokol
enggan pergi, meminta dirahasiakan. Sebelum mulai mendorong kursi roda, Sri
meremas bahu Baskara pelan. “Semoga, Pak Bas diberikan ketabahan ya. Saya turut
berduka cita atas kepergian sahabat Bapak”, katanya nyaris berbisik. Kata-kata
Sri menggantung di udara, bersamaan dengan berbagai kilas hitam putih bak kaset
rusak yang menghambur ke ingatan Baskara. “Bas, jika hari itu kau memilih
‘sebab’ yang berbeda, apakah sebentuk ‘akibat’ ini akan berubah? Atau inilah
takdir yang tidak terelakkan?”
*) Ditulis
untuk mengikuti lomba cerpen Stacnation 2020 yang diselenggarakan oleh Senat
Mahasiswa Politeknik Statistika STIS, mendapat juara 2
Funfact:
1. Rencananya
mau nulis ending alternatif ala-ala, tapi karena keterbatasan jumlah
kata jadinya tidak memungkinkan.
2. Saat
itu baru kelar baca buku Loving the Wounded Soul-nya Regis Macdy,
makanya bawa-bawa topik toxic masculinity
3. Menurutku,
isinya masih terkesan dipaksakan sama temanya, kurang smooth biar masuk tema wkwk
4. Aku
suka banget sama nama Baskara heiiii