“Money is one form of power,
but what is more powerful is financial
education.”
– Robert T. Kiyosaki
“Usia 25 tahun idealnya punya apa?” merupakan pertanyaan yang sempat menjadi topik pembicaraan yang menghebohkan Twitter pada Mei lalu. Alasannya tidak lain adalah jawaban dari empunya cuitan yang menyatakan bahwa idealnya seseorang pada usia 25 tahun telah mampu memiliki tabungan sebesar 100 juta, cicilan rumah sisa 20 persen, memiliki kendaraan pribadi dan gaji minimal 8 juta. Pernyataan tersebut kemudian mendapat berbagai tanggapan mulai dari protes yang menyatakan bahwa target tersebut terlalu muluk di tengah keadaan ekonomi yang serba tidak pasti, kontra karena keadaan finansial seseorang yang tidak dapat distandardisasi, dan sebagainya. Topik ini bahkan menjadi berita pada beberapa media daring salah satunya kompas.id. Melansir hasil wawancara kompas.id terhadap perencana keuangan dari One Shildt, Risza Bambang, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang luar biasa, namun tidak juga dapat distandardisasi untuk semua orang1. Jadi, apakah yang seharusnya dimiliki oleh seseorang yang berusia 25 tahun?
Menyiapkan dana darurat, mulai mempersiapkan dana hunian, dan dana pensiun merupakan jawaban dari perencana keuangan dan pendiri dari Mitra Rencana Edukasi (MRE), Mike Rini Sutikno2. Dengan jawaban tersebut, sudah seharusnya kita mendapatkan pencerahan dalam pengelolaan finansial yang ideal, namun mewujudkannya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dilihat dari lingkup yang lebih besar, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa pada September 2020, persentase penduduk miskin bernilai sebesar 10,19 persen, meningkat 0,41 persen poin terhadap Maret 20203. Data tersebut seolah mempertegas pernyataan Risza Bambang sebelumnya bahwa tidak seharusnya kondisi finansial seseorang dan pencapaiannya distandardisasi mengingat keadaan ekonomi masyarakat yang beragam antara satu dengan yang lainnya.
Perbedaan status ekonomi yang ditunjukkan
data BPS tersebut tidak dapat
dimungkiri dapat menimbulkan pesimisme baru yang berpotensi dijadikan kambing
hitam atas tidak meleknya seseorang terhadap
pengelolaan finansial. Misalnya saja
pembenaran-pembenaran seperti: “Saya
kan
tidak kaya, jadi bagaimana bisa saya mengelola keuangan?”, “Uang saya
tidak banyak jadi bagaimana caranya menabung?”, dan respon senada
lainnya. Respon-respon seperti itulah yang justru
semakin membatasi seseorang untuk melek
finansial padahal seharusnya dapat memantik keinginan
seseorang untuk
mampu mengetahui lebih banyak dan
mengelola finansialnya. Hal ini tidak jauh berbeda
dengan Arjuna yang ketakutan dan mengambinghitamkan keadaan di sekitarnya
saat menghadapi sanak saudaranya di medan pertempuran. Untuk menghindari pengambilan suatu keputusan atau tindakan, kita sering mencari pembenaran, mencari kambing hitam4. Menilik dari kendala tersebut, terlebih dahulu harus
diketahui urgensi dari melek
finansial dan pengelolaan keuangan.
Sebagaimana kutipan dari penulis buku Rich Dad Poor Dad, Robert T. Kiyosaki, pada awal tulisan, uang memanglah sebuah kekuatan, namun terdapat sesuatu yang jauh lebih kuat yaitu “melek finansial”. Dalam bukunya, Robert T. Kiyosaki juga membandingkan pola pikir dua orang yang berpengaruh dalam hidupnya yang memiliki pandangan berbeda dalam mengelola uang. Hasilnya juga menunjukkan perbedaan yang kentara, dimana ayah kandungnya yang memiliki financial literacy yang buruk berakhir dengan terlilit hutang, sedangkan ayah temannya berhasil meninggalkan warisan5. Hal tersebut mencerminkan bahwa sudah seharusnya kita semakin bertanggung jawab atas perencanaan keuangan pribadi baik dalam berinvestasi maupun dalam membelanjakan sumber daya sepanjang hidup. Contoh konkret pengelolaan uang yang buruk lainnya dapat dilihat di Amerika Serikat, banyak orang yang datang mendekati masa pensiun membawa lebih banyak utang daripada generasi sebelumnya6. Beberapa penelitian telah mendokumentasikan bahwa mereka yang memiliki literasi keuangan yang lebih tinggi lebih mungkin untuk merencanakan pensiun karena lebih mampu melakukan perhitungan.
sepanjang hidup.
Contoh konkret pengelolaan uang yang buruk lainnya dapatdilihat di
Amerika Serikat, banyak orang yang datang mendekati masa pensiun membawa lebih banyak utang
daripada generasi
sebelumnya6. Beberapa penelitian telah mendokumentasikan bahwa mereka
yang memiliki literasi keuangan yang lebih tinggi lebih mungkin
untuk merencanakan pensiun
karena lebih mampu
melakukan perhitungan.
Dewasa ini, tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat telah mulai
menyadari pentingnya investasi yang bahkan seolah menjadi sebuah trend baru. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah investor di pasar
modal memang terus meningkat, walaupun
jumlah tersebut masih sangat sedikit bahkan tidak mencapai satu persen
dari
total penduduk Indonesia7.
Selain itu,
semakin banyaknya aplikasi untuk berinvestasi bagi pemula dan informasi dasar mengenai investasi yang sudah dapat diakses
dengan mudah dan disambut dengan antusias
mencerminkan mulai adanya
kesadaran masyarakat untuk melek finansial. Namun di sisi lain dari animo yang
besar tersebut, terdapat
juga pihak-pihak
yang sama sekali tidak menganggap investasi dan pengelolaan keuangan sebagai sesuatu yang penting. Kendala lainnya adalah gaya
hidup yang mengikuti trend, hedonisme, dan ketidakmampuan
menahan diri untuk memenuhi keinginan.
Pendapatan dapat dikatakan menyumbang
sebagian
besar
dari kepuasan hidup8. Mindset seperti itu
menjadikan orang-orang
terus mengandalkan
pekerjaan untuk menghasilkan uang
untuk kemudian dihabiskan
untuk memenuhi kepuasan hidup. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Esterlin yang
mengacu pada pemisahan
membingungkan antara uang dan kepuasan sebagai "ilusi pertumbuhan
dan
kebahagiaan"9. Dalam menggambarkan hal ini, kita dapat menengok pemikiran “rich dad” dari Kiyosaki. Pada dasarnya, kehidupan kita akan senantiasa
dipengaruhi oleh ketakutan dan kerakusan dimana kita akan bekerja karena takut
tidak memiliki uang, kemudian setelah kita memiliki uang, kita mulai membeli hal-hal yang kita inginkan. Hal ini membentuk suatu lingkaran siklus yang disebut “rat race” yang
tidak
akan
membawa kita kemana-mana10.
Menilik dari penyebabnya, solusi untuk tidak terjebak dalam siklus tersebut tidak lain adalah mengendalikan diri dari ketakutan dan kerakusan sejalan dengan melek finansial misalnya dengan memilih menghabiskan uang untuk berinvestasi dibandingkan dengan memenuhi keinginan. Pada akhirnya, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran mengelola keuangan sebagai salah satu fondasi penting dalam kehidupan? Bagaimana mewujudkan sisi mentalitas yang melek finansial seperti “rich dad” yang mementori Kiyosaki?
Dalam membangun kesadaran mengelola
keuangan, hal ini dapat dikaitkan dengan acuan kita dalam
bertindak yaitu agama. Dilihat dari sudut pandang Hindu,
kita mengenal salah satu konsep yang dapat diterapkan yaitu Catur Purusa Artha. Akar
kata Catur Purusa Artha terdiri dari akar kata Catur yang berarti empat, Purusa yang
berarti manusia dan Artha yang berarti tujuan. Sehingga
dapat
disimpulkan bahwa Catur
Purusa Artha memiliki arti empat
tujuan
hidup manusia11. Empat tujuan ini yaitu
Dharma,
Artha, Kama, dan Moksa sebaiknya dijadikan sebagai acuan atau hal yang mengarahkan kita sehingga liarnya
pikiran - dalam hal ini saat mengelola
keuangan- dapat dikendalikan sehingga terwujudlah
kehidupan yang terarah dan sejahtera.
Dalam menciptakan
suatu
sistem fondasi pengelolaan keuangan
yang
tepat
sasaran, penting untuk diketahui kebutuhan seseorang dalam kehidupannya. Dilihat
dari sisi psikologi, Abraham Maslow mengemukakan bahwa
pada dasarnya terdapat berbagai macam kebutuhan
dalam diri seseorang yang bisa dilihat secara berjenjang (hierarchical)12. Teori piramida hierarki
keinginan menunjukkan
bagaimana
seseorang akan memenuhi kebutuhannya dari
bagian paling bawah piramida untuk
kemudian bergerak ke atas karena
kebutuhan yang lain dianggap sudah terpenuhi.
Adapun gambar piramida hierarki kebutuhan Maslow dapat dilihat
pada Gambar 1. Merujuk pada teori tersebut dan penerapan Catur Purusa Artha sebagai tujuan umat Hindu, dapat disusun strategi pengelolaan keuangan yang ideal. Pada tulisan
kali ini, gagasan yang penulis ajukan akan mengacu pada
tiga subbagian piramida yaitu basic
needs, psychological needs, dan self-fulfillment
needs disertai internalisasi ajaran Catur Purusa Artha.
Gambar 1. Piramida hierarki
kebutuhan Maslow
Pada dasarnya, internalisasi ajaran Catur Purusa Artha bertugas sebagai “tali kekang”
yang mengatur dan mengarahkan kebutuhan
kita yang dapat
digambarkan sebagai piramida hierarki. Untuk mewujudkan tali kekang yang kuat, terlebih dahulu kita harus menghayati bahwa dalam pengelolaan keuangan pun kita harus
bertujuan menegakkan dharma, mencapai kama,
mendapatkan artha,
dan mencapai moksa. Selain itu, keduanya
juga tidak dapat dilepaskan dari jenjang
kehidupan yang dikenal dengan Catur Asrama yang meliputi Brahmacari (masa
menuntut ilmu), Grehasta (masa berumah tangga), Wanaprasta (masa menjauhkan
diri dari nafsu keduniawian), dan Bhiksuka (masa melepaskan diri dari ikatan
duniawi). Berdasarkan tujuan dan
tingkatan kehidupan
tersebut kemudian
dilakukan sinkronisasi dengan hierarki kebutuhan
yang kita miliki sehingga
secara tidak langsung kita telah satu langkah ke depan memiliki mentalitas “rich dad” yang mampu berpikir ke depan dalam
mengelola keuangan.
Pada masa Brahmacari, tujuan dalam Catur Purusa Artha yang diutamakan adalah Dharma dan Artha. Pada tahapan ini, dalam pemenuhan basic needs, kita masih bergantung kepada orang tua dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Pada tahapan inilah kita seharusnya mempelajari dasar-dasar ilmu yang dapat digunakan sebagai tali kekang untuk masa mendatang, baik ilmu agama maupun literasi finansial. Dalam pemenuhan psychological needs, kita cenderung membutuhkan pengakuan dari orang lain dan ikatan seperti pertamanan yang dapat diwujudkan dengan menjadi pribadi yang berpikiran terbuka dan senantiasa memperluas pergaulan dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran dan tujuan untuk membangun karier untuk mendapatkan artha. Terakhir, dalam pemenuhan self-fulfillment needs, kita dapat melakukannya dengan aktif menyalurkan ide-ide kreatif yang kita miliki selagi muda. Berdasarkan fase kehidupan, tujuan, dan keinginan yang telah dipaparkan, pengelolaan keuangan “rich dad” yang cocok dilakukan pada tahap ini adalah menumbuhkan mentalitas berani gagal dalam berkarier, mengumpulkan pengalaman sebanyak-banyaknya, dan pandai mencari peluang. Selain itu, kita harus mulai mengamalkan Dharma yang telah dipelajari seperti tidak lobha sehingga terbentuklah kebiasaan yang baik seperti tidak boros, rajin menabung dan ber-dana punia.
Selanjutnya, pada masa Grehasta, tujuan dalam Catur Purusa Artha yang diutamakan adalah Artha dan Kama yang berlandaskan Dharma. Dalam tahapan ini basic needs akan bertambah dengan keberadaan keluarga baru yang terbentuk, ditambah lagi kewajiban dalam bermasyarakat, kehadiran anak, dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan ini tentunya ditunjang dengan adanya pekerjaan yang telah kita usahakan sebelumnya. Dalam pemenuhan psychological needs, pengakuan dari orang lain dapat diusahakan dengan turut bersaing memenuhi standard masyarakat seperti rumah yang bagus dan indah, minimal memiliki satu mobil, pendidikan anak di SMA swasta yang mahal, palaksanaan yadnya secara besar-besaran, dan lain- lain. Terakhir, dalam pemenuhan self-fulfillment needs pasangan atau keluarga dapat merancang rencana masa depannya. Ketika mencapai Artha dan Kama dalam fase ini, rentan terjadi “rat race” yaitu pendapatan yang akan selalu berbanding lurus dengan pengeluaran. Jika tidak ditangani dengan baik, hal ini berpotensi menyebabkan habisnya gaji untuk pembelian barang bahkan menimbulkan hutang atau penumpukan cicilan yang tidak kunjung usai. Hal inilah yang perlu dikendalikan dengan pengamalan Dharma yang telah dilatih sebelumnya, seperti tidak boleh lobha, pelaksanaan yadnya yang sesuai kemampuan tanpa mengutamakan niat pamer, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan “rich dad” yang memilih menginvestasikan gajinya dibanding untuk memenuhi keinginan yang tidak akan pernah habis. Pada tahap ini, pengelolaan keuangan dapat diarahkan pada investasi demi menjamin kebebasan finansial di masa mendatang.
Pada
masa Wanaprasta dan Bhiksuka tujuan yang diutamakan adalah Moksa dimana perbedaannya adalah pada
masa Wanaprasta usaha
melepaskan diri dari
ikatan keduniawian dilakukan secara bertahap sehingga
masing memiliki sedikit
tujuan yang berhubungan dengan Kama. Menilik dari tujuan Catur Purusa Artha
yang ingin dicapai dalam kedua
fase
ini, piramida keinginan Maslow yang ingin diwujudkan tentunya tidak seambisius tahapan sebelumnya. Berangkat dari
kesadaran untuk mulai mengurangi
ikatan terhadap
hal duniawi, sudah seharusnya dalam fase ini kita idealnya telah bebas secara finansial sehingga masa ini dapat dilalui dengan
tenang,
tidak
dalam kondisi
terlilit hutang yang masih mewajibkan
kita bekerja keras. Dalam mewujudkan hal inilah pada tahap-tahap sebelumnya perencanaan dan pengelolaan uang harus dilakukan dengan baik sehingga kita dapat fokus
kepada peningkatan kualitas diri secara spiritual untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Pada akhirnya, berdasarkan keseluruhan usaha pemenuhan kebutuhan hierarki Maslow yang dipaparkan berdasarkan pembagian Catur Asrama, tidak sulit melihat
bagaimana pengelolaan keuangan yang tepat demi menjadi seperti “rich dad” dalam kehidupan
Kiyosaki. Penggunaan istilah dad juga dimaksudkan tidak hanya
terbatas pada
laki-laki saja, tetapi keseluruhan generasi yang bertumbuh melewati keempat tahapan Catur Asrama dan piramida
keinginan Maslow.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, Catur Purusa
Artha merupakan “tali kekang” yang akan menentukan apakah kita dapat menjadi seseorang “rich
dad” yang melek finansial dan mampu mengelola keuangan dengan baik atau
menjadi “poor dad” yang berkutat dalam
menggali-menutup lubang kebutuhan.
1,2Yogatama, Benediktus Krisna. 2021. “Usia 25
Tahun Idealnya
Punya...”. Tersedia
pada https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/05/10/usia-25-tahun- idealnya-punya (diakses pada 9
Juli 2021)
3Badan Pusat Statistik. 2020. Profil Kemiskinan di Indonesia September 2020 No.
16/02/Th. XXIV, 15 Februari 2021.
Jakarta:
BPS
4Krishna, Anand. 2017. Kebijakan Bhagavad Gita Bagi
Generasi
Y. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
5, 10Kiyosaki, Robert T. 2011. Rich Dad Poor Dad. Plata Publishing.
6Lusardi, Annamaria, Olivia S. Mitchell, & Noemi Oggero (2018). The changing face of debt and financial fragility at older ages.American Economic Association Papers and Proceedings, 108, 407–411
7Hati, Shinta Wahyu dan Windy Septiani Herefa. 2019. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Berinvestasi di Pasar Modal Bagi Generasi Milenial. Journal of Business Administration Vol 3, No 2, September 2019, hlm, 281-295
8Helliwel, John F.. 2003. How’s life? Combining individual and national variables to explain subjective well-being. Economic Modelling, 20, 331–360.
9Easterlin, Richard A. 2005. Feeding the illusion
of growth and happiness:
A reply to Hagerty & Veenhoven.
Social
Indicators Research, 74, 429–443.
11Surpha, I Wayan. 2005. Pengantar Hukum
Hindu. Surabaya:
Paramita.
12Rivai, Veitzhal. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. Jakarta: Rajawali Pers.
*Ditulis untuk mengikuti lomba esai dalam rangkaian Sabha Gotra 2020, mendapatkan juara 2. Intermezzo: Well, ini Sabha Gotra ketiga sekaligus terakhir yang bisa kuikutin sih, jadi bisa dibilang udah pasrah gitu. Anw, dapet juara di Sabha Gotra adalah mimpi terbesarku dalam perjalanan tulis menulis selama kuliah, ceritanya sih pengganti mimpi lolos PKM kalau masuk di PTN mengingat aku terlalu penakut (dan clueless) buat ikut lomba nulis statistik wkwkwk. Syukurnya di tahun terakhir ini diberi kesempatan juga :”